Embriogenesis Somatik
Embriogenesis somatik merupakan
suatu proses pembentukan embrio dari sel somatik menjadi tumbuhan baru, tanpa
melalui fusi sel gamet. Cara ini dinilai lebih cepat dan efisien, karena setiap
sel somatik berpotensi untuk menjadi 1 individu baru. Embrio somatik dicirikan
dengan strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon meristem, meristem
akar dan meristem tunas. Embrio somatik dapat melalui dua jalur pembentukan,
yaitu secara langsung maupun tidak langsung (melalui fase kalus).
Embriogenesis somatik
mempunyai beberapa tahapan spesifik,yaitu (1) induksi sel dan kalus
embriogenik, (2) pendewasaan, (3) perkecambahan, dan (4) aklimatisasi.
1. Induksi
sel dan kalus embriogenik
Sebelum
dilakukan induksi sel, eksplan terlebih dahulu dilakukan sterilisasi permukaan.
Induksi sel dan kalus embriogenik pada umumnya dilakukan dengan penambahan zat
pengatur tumbuh pada medium pertumbuhannya dalam konsentrasi yang tinggi agar
mempunyai daya aktivitas yang kuat. Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan yaitu,
auksin (antara lain 2,4-D) dan sitokinin (antara lain kinetin). Kalus
embriogenik ditandai dengan pembentukan struktur kalus yang friable (remah dan
mudah terpisah) serta berwarna putih atau kekuningan yang muncul sekitar 2,5
bulan. Selanjutnya akan terbentuk struktur pasangan-pasangan berbentuk kepingan
berwarna putih yang menandakan terbentuknya embrio. Total embrio yang terbentuk
dari 1 helai daun yaitu sekitar 1000 embrio (Roostika et al., 2009).
2. Pendewasaan
Pada tahap
pendewasaan, struktur globular akan berkembang membentuk kotiledon dan
primordia akar. Pembentukan diawali dengan pembentukan struktur bipolar (2
kutub). Perkembangan kalus embriogenik dipengaruhi oleh kondisi hormon endogen
dan eksogen (zat pengatur tumbuh). Ketika konsentrasi auksin lebih tinggi dari
sitokinin, maka pertumbuhan akar akan lebih dominan. Sebaliknya jika
konsentrasi sitokinin lebih tinggi dari auksin, maka yang dominan terbentu
adalah tunas. Pada tahap pendewasaan sering digunakan zat pengatur tumbuh pada
konsentrasi yang rendah. Perkembangan kalus embriogenik menjadi planlet dimulai
dengan terbentuknya struktur globular, hati, torpedo dan kotiledon (gambar 1).
3. Perkecambahan
Pada tahap
perkecambahan, embrio somatik akan membentuk tunas dan akar. Zat pengatur
tumbuh yang digunakan dalam medium pertumbuhan berada dalam konsentrasi yang
sangat rendah, bahkan tidak digunakan sama sekalu. Berdasarkan penelitian
Roostika et al. (2009), penambahan
auksin ke dalam medium pertumbuhan justru tidak mampu meningkatkan persentase
pembentukan planlet. Hal ini diduga bahwa kandungan auksin endogen dalam kalus
mebriogenik cukup tinggi sehingga tidak memerlukan auksin eksogen. Pembentukan
tunas lebih diharapkan daripada pembentukan akar karena induksi perakaran dari
eksplan tunas lebih mudah dibandingkan dengan induksi tunas dari eksplan akar.
4. Aklimatisasi
Bibit embrio somatik diaklimatisasi terlebih dahulu sebelum
ditanam di lingkungan agar terjadi penyesuaian. Keberhasilan aklimatisasi
ditandai dengan munculnya sepasang daun merah (Roostika et al., 2005). Pada penelitian Roostika et al. (2009), persentase tingkat keberhasilan aklimatisasi hanya
sebesar 14%. Rendahnya tingkat aklimatisasi kemungkinan disebabkan penguapan
planlet yang tinggi karena masih mempunyai kutikula yang tipis. Van
Huylenbroeck dan Debergh (1996) menyebutkan bahwa selama proses aklimatisasi,
planlet harus beradaptasi terhadap lingkungan baru, seperti tingkat kelembaban
yang rendah, tingkat intensitas cahaya yang tinggi, fluktuasi suhu dan stress
penyakit.
Pembentukan embrio
somatik dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain jenis eksplan, sumber
nitrogen dan gula, serta zat pengatur tumbuh (Purnamaningsih, 2002).
a. Jenis
eksplan
Penggunaan jenis eksplan yang bersifat meristematik
dapat meningkatkan keberhasilan dalam embriogenesis somatik. Jenis eksplan yang
umum digunakan antara lain, aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon,
mata tunas, dan epikotil maupun hipokotil.
b. Sumber nitrogen dan gula
Komposisi
nutrisi dalam medium berperan penting dalam induksi dan perkembangan
embryogenesis somatik. Nitrogen merupakan faktor utama dalam memacu
morfogenesis secara in vitro. Menurut Ammirato (1983), bentuk nitrogen reduksi
(seperti NH4+ dan NO3-) dan
beberapa asam amino (seperti glutamin dan kasein hidrolisat) dapat membantu
proses inisiasi dan perkembangan embrio somatik. Young et al. (1999) dalam
Purnamaningsih (2002) menambahkan bahwa penambahan asam amino dapat
merangsang terjadinya komunikasi di antara sel dan jaringan pada organ
multiseluler. Akan tetapi, konsentrasi NO3- yang terlalu tinggi
dapat meningkatkan pH medium sehingga kalus tidak membentuk embrio somatik.
Selain nitrogen,
gula juga merupakan komponen nutrisi yang harus diberikan ke medium
pertumbuhan. Gula berfungsi sebagai sumber karbon dan mempertahankan tekanan
osmotik pada medium. Anhazhagan dan Ganapathi mengamati pengaruh beberapa jenis
gula (glukosa, sukrosa, fruktosa, dan maltosa) terhadap pembentukan kalus embriogenik.
Penambahan sukrosa ke dalam medium kultur menghasilkan jumlah embrio somatik
paling banyak dibandingkan jenis gula yang lain (tabel 1).
c. Zat
pengatur tumbuh
Zat pengatur
tumbuh merupakan suatu senyawa organik yang berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan kultur. Konsentrasi yang digunakan berbeda-beda tergantung dari
fase pertumbuhan yang terjadi. Konsentrasi yang tinggi diberikan pada tahap
induksi sel, sedangkan pada tahap pendewasaan zat pengatur tumbuh diberikan
dengan konsentrasi yang rendah. Macam zat pengatur tumbuh tersebut dapat berupa
auksin (2,4-D; 3,5-T; picloram; dan NAA), dan sitokinin ( Benzil adedin/BA,
kinetin, dan adenine sulfat). Zat pengatur tumbuh yang paling sering digunakan
adalah auksin sintetik 2,4-D karena efektif
untuk induksi kalus embriogenik dan tahap terhadap degradasi reaksi
enzimatik maupun fotooksidasi.
Tabel 1. Pengaruh penggunaan
karbohidrat dan konsentrasi 2,4-D terhadap embryogenesis somatik pada kultur
suspensi
Angka
yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf 5%. Perlakuan
dari
10 ulangan.
Perbandingan
penggunaan zat pengatur tumbuh dilakukan pada penelitian Roostika et al. (2009). Dua macam zat pengatur
tumbuh yang digunakan yaitu auksin (IBA dan NAA), serta sitokinin (BA dan
kinetin). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan auksin lebih efektif
untuk perkembangan kalus embriogenik dibandingkan dengan sitokinin (gambar 2).
Gambar
2. Pengaruh auksin dan sitokinin terhadap regenerasi kalus embriogenik lengkeng
Diamond river yang ditanam pada medium yang mengandung sukrosa 1&, 2 bulan
setelah tanam.
Proses pembentukan embriogenesis
somatik dikendalikan oleh berbagai gen yang saling terkait. Hiwatashi dan
Fukuda (2000) mengisolasi 6 homeobox gen (CHBs) yang dikelompokkan sebagai famili
HD (homeo-domain) Zip I dari embrio dan bibit wortel. Hasil analisis
menunjukkan bahwa jumlah m-RNA dari gen CHB3, CHB4, CHB5, dan CHB6 meningkat
sesuai dengan perkembangan embrio somatik. Akumulasi m-RNA dari gen-gen
tersebut tampak pada
beberapa lokasi yang berbeda dalam embrio dan bibit wortel sesuai dengan tahap perkembangannya.
Pada embrio, akumulasi m-RNA dari CHB3 terlihat pada
bagian aksis embrio pada fase globular, sedangkan pada awal fase hati sampai
akhir torpedo, akumulasi m-RNA dari CHB3 tampak pada bagian paling dalam dari
sel-sel korteks. Lapisan paling dalam dari sel-sel korteks tersebut berbeda
dengan sel-sel korteks lain di mana lapisan tersebut banyak mengandung vakuola
dan plastida. Lapisan ini akan berdiferensiasi membentuk sistim pembuluh.
Ekspresi dari gen CHB4 dan CHB5 mulai terlihat pada fase torpedo. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa ekspresi dari gen CHB3, CHB4, dan CHB5 kemungkinan
berhubungan dengan diferensiasi dari lapisan sel-sel korteks yang paling dalam.
Peningkat-an jumlah m-RNA dari gen CHB6 terlihat pada jaringan pembuluh yang
masih muda dari fase hati hingga terbentuknya embrio
somatik. Hal ini menunjukkan bahwa gen CHB6 kemungkinan berhubungan dengan diferensiasi
dan perkembangan sistem pembuluh. Secara skematik ekspresi dari keempat gen
tesebut dan hubungannya dengan tahap perkembangan embriogenesis disajikan pada
gambar 2.
Gambar 2. Akumulasi m-RNA dari CHB yang berbeda-beda selama embriogenesis somatik
Daftar
Pustaka
Ammirato, P.V.
1983. Embryogenesis. In D.A. Evans,
W.R. Sharp, P.V. Ammirato, and Y. Yamada. (Eds.).
Handbook of Plant Cell Culture. 1: 82-123.
Anhazhagan, V.R.
dan A. Ganapathi. 1999. Somatic embryogenesis in cell suspension cultures of
pigeon (Cajanus cajan). Plant Culture, Tissue, and Organ Culture. 56: 179-184.
Hiwatashi, Y. dan H. Fukuda. 2000.
Tissue specific localization of m-RNA for carrot homeobox genes CHBs in carrot
somatic embryos. Plant Cell Physiol. 41(5):639-643.
Purnamaningsih,
R. 2002. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan beberapa gen yang
mengendalikannya. Bul AgriBio 5 (2): 51-58.
Roostika, I.,
V.N. Arief dan N. Sunarlim. 2009. Regenerasi kultur lengkeng dataran rendah cv.
Diamond river melalui embriogenesis somatik. J Hort 19 (1): 14-22.
Van Huylenbroeck
dan P.C. Debergh. 1996. Physiological aspect in acclimatization of
micropropagation plantlets. Plant Tissue Culture and Biotechnology. 2 (3):
136-141.
Babyliss nano titanium flat iron | Titanium Arts
BalasHapusThis titanium uses is a fully polished samsung watch 3 titanium design designed titanium security to maximize user comfort and height. The headline is a high-quality stainless steel core that is titanium dioxide formula used for columbia titanium boots high-quality